2024 dump in a letter
Tahun ini, aku belajar bagaimana cara memegang sebuah pisau. Dan aku menggunakannya untuk membunuh seseorang, sayangnya.
Di suatu hari bersalju di awal tahun, aku tidak bisa melihat kamarku sendiri, bantal, selimut, bahkan kursi dan mejaku terlihat menyakitkan dan bukan untukku. Bahkan langit-langit--pemandangan setiap pagiku nampak menjatuhkan debu-debu yang bisa membuat mataku berair. Malam itu, untuk pertama kalinya aku mengambil sebungkus rokok yang kutemukan diam-diam dan tersimpan lama di dalam laciku, mereka bilang rokok dapat menghilangkan stress, aku hanya berjalan di antara lampu dan suhu rendah, oh napasku sudah berasap, batinku. Mampir di sebuah minimarket untuk membeli selusin korek api kayu karena aku tidak bisa mengambilnya satuan, ah sial umtuk apa sebanyak ini kalau hatiku saja sudah tersisa abu. Malam itu, aku hanya sanggup menghisap lima batang rokok, bukan karena kesehatan tapi bahkan satu bungkus pun tak akan membuat cemasku keluar dari paru-paru dan menguap bersamanya. Setelah tidak mengubah apa-apa, aku pergi menyusuri jalan yang lain, suhu kota Peter sedang minus-minusnya tapi aku sedang sangat marah, tidak ada yang bisa aku pikirkan kecuali ingin menangis kemudian menjadi angin yang hampa. Dia bilang aku tidak dewasa, rumah mana lagi yang bisa meneduhiku. Dia bilang aku terlalu banyak mencintainya, aku sungguh tak menggunakan sendok makan untuk menambah garam di masakananku, sesuai selera, sesuai naluri. Dia bilang tak ada lagi hasratnya untuk hidup bersamaku, oh terima kasih, aku sendirian sekarang atau memang selalu seperti itu. Aku berharap bertemu orang lain yang melihatku menangis malam itu, tapi aku lupa aku sedang tinggal di negara orang yang tidak peduli, setidaknya di tengah perjalanan aku bertemu seekor kucing tapi dia tidak menerima pelukanku, dia hanya lebih butuh rumah yang melindunginya dari salju-salju. Aku pulang masih dengan perasaan yang tidak terhibur apa-apa sedang kamarku tidak mengizinkan tuannya sendiri berteriak, kemudian entah bagaimana aku hanya tertidur di antara cemas-cemasku lalu bermimpi mengakhiri dunia ini. Dari patah hati ini, aku berkata kepadaku untuk mengambil cinta yang tersisa, menyimpannya di dalam tulang betisku sehingga aku tetap bisa berlari dan berdiri mengandalkan kakiku sendiri. Jangan pernah memuja siapa pun.
Masih setengah remuk, menuju bulan keempat. Akan merayakan hari raya dengan siapa? Aku mendengar kabar burung yang entah baik atau buruk. Masih kabar burung, tapi aku sudah menangis lagi dengan sisa-sisa hatiku. Kali ini agaknya lebih menyakitkan. Ibuku membangun rumahnya sendiri, dengan bapakku yang lain. Aku tahu bahwa keluargaku memang tidak baik-baik saja sejak awal, mereka sungguh penuh cinta namun cinta dengan pemikiran mereka sendiri yang lebih besar. Aku tahu bahwa rumah kami memang bukan lagi milik kami namun ada rumah ibu dan rumah bapak--bukankah bagus memiliki banyak tempat pulang? Bagus, tapi tidak terlalu. Malam hari raya tahun ini cukup berbeda, aku memang benar-benar tak pernah menyangka akan melaluinya dengan foto keluarga yang baru--berbeda. Aku tidak hadir di sana, tentu saja, aku di sini bersama hatiku yang setengah remuk itu, menghibur diri, menerima lagi. Aku tak mencoba mengambil rokok lagi, aku lebih marah hanya melihat orang-orang berlalu lalang, dengan senyum-senyum mereka di hari raya, aku merayakan setiap keping sakit hatiku. Tentu saja sulit dijelaskan, aku tahu sekali ibuku berhak mendapatkan bahagianya, tahu sekali. Aku tahu sekali mungkin dia lelaki yang lebih baik, tahu sekali. Aku tahu sekali mungkin ini jalan hidup yang terbaik, yang sudah direncanakan, tahu sekali. Yang aku tidak tahu adalah menghabiskan malam-malam berikutnya dengan sejumlah perasaan rumit, mengingat mangkok-mangkok mi ayam atau sambel pete makan malam di rumah bapak, kami mungkin belum pernah memiliki sebuah foto keluarga yang sempurna. Mungkinkah setidaknya pernah sekali saja bapak ibukku dan kami benar-benar berbahagia dan tanpa kebohongan? Nyatanya memaafkan dan menerima adalah pekerjaan seumur hidup, saat itu, aku tidak bisa tidak baik-baik saja. Keping hatiku lainnya milik bapak dan anak yang lain. Aku pun tak mencoba menanyakan alasannya, dan aku tak ingin, aku hanya sedang berusaha menerima tanpa tahu apa-apa, dan biarlah seperti itu saja. Dari patah hati ini, aku berkata kepadaku untuk memilihku seutuh-seutuhnya, hidup yang tidak hanya berputar untukku memberiku pemahaman dan kepercayaan. Jangan mengatur kebahagiaan siapa pun.
Sudah sepenuhnya remuk, menuju bulan kedelapan. Seharusnya ini akan menjadi musim yang menyenangkan, siapa yang tidak berlibur di musim panas. Tapi keping hatiku itu dibanting lagi, oleh seorang teman dekat--yang aku sudah malas mengungkitnya. Hanya teman (yang pernah) dekat lalu tiba-tiba menjauhiku, mungkin membenciku, dan tidak mau lagi menemuiku. Hanya teman (yang pernah) dekat yang sering kuajak menjelajahi tempat baru. Hanya teman (yang pernah) dekat yang kuanggap teman dan kupercayai sepenuhnya. Hanya teman (yang pernah) dekat yang membuatku kini tak memiliki siapa pun lagi. Dari semua patah hati ini, aku membunuhku.
Akhirnya aku membunuhku, karena terlalu diam seperti orang mati. Bahkan orang mati mungkin saja tidak kesepian. Aku membunuhku yang selalu punya ekspresi untuk diungkapkan, yang menyimpan energi hingga mati sendiri karena tidak dibagi. Aku membunuhku dari perasaan selalu merasa butuh orang lain untuk mencukupiku. Aku membunuhku dari selalu merasa kesepian, karena aku, sejatinya lahir dengan diriku sendiri. Pagi tadi aku berjalan-jalan dengan damai, setidaknya aku mandiri, setidaknya aku masih bersama kedewasaan dan kewarasan, setidaknya mungkin ini tumbuh untuk menerima itu. Aku masih berencana pergi ke kota dan negara dan benua yang lain, mencicipi berbagai kesepiannya. Merayakan mati dan hilang. Aku tidak ingin mati berkali-kali namun aku masih berani mengulang hidup dengan patah hati ini, tidak ada yang pernah tahu.
Tahun ini aku tidak bertemu banyak orang. Tahun ini aku mengalami tiga patah hati yang menjadikan segala yang tersisa sebuah kepingan. Dari keping-keping itu aku membunuh seseorang. Dari pembunuhan itu aku menghidupkan penerimaan. Dari penerimaan itu aku, aku menangis. Aku menangis di atas batu nisanku yang tertulis doa "Tuhan, peluklah aku bersamaMu."


Komentar
Posting Komentar