Surat Selamat
Mungkin hari ini hanyalah hari pertama untuk seluruh jumlah perjalanan yang belum kita tahu alurnya, mungkin waktu ini hanyalah yang kebetulan selesai dari sebuah masa yang sudah dilewati dengan banyak menanti, mungkin senang susah ini hanyalah bagian dari motif kehidupan yang terus merajut benang takdirnya, mungkin perayaan ini juga hanya bagian selamat kecil dari syukur yang besar. Kita senantiasa berjalan beriringan, mungkin juga cerita kita saat itu tidak sengaja tersangkut dan terikat satu sama lain, menarik satu dan lainnya, mengeluh dan mendengarkan, meriuh dan menenangkan, menyurut dan menguatkan, satu sama lain– aku dan kita. Lalu pada hari ini kamu bercerita, tentang satu lagi pencapaian, yang patut dirayakan. Hati kita sungguh penuh, sebagian besar diisi syukur yang sambung menyambung, syukur kau sudah melewatinya, syukur masih bertahan, syukur kau selalu kuat, syukur dengan hasil yang baik, syukur dengan kenangan baik, syukur dari dukungan yang baik, syukur kau akhirnya menerima sepenuhnya, syukur kau selalu di sana dan tak letih akan hal baik lain yang akan datang. Sebagian besar rasa itu diisi juga oleh banyak nostalgia, hal-hal yang kita lewati akhir-akhir ini, beberapa bulan ini, satu tahun ini, bahkan bertahun-tahun yang lalu. Cerita baru hadir setiap hari, menjadi tawa, tangis, sekadar gosip hangat, atau bahkan yang berjalan biasa saja. Tapi cerita yang akan selalu kita ingat, bahwa kita tidak pernah berhenti berusaha, dan lalu perasaan itu yang mengisi sebagian besar lain di hari itu, bahwa kamu selalu hebat dan akan jadi selamanya.
Aku melihatmu menangis dalam diam, di balik tawamu yang selalu ceria, tapi aku merasa sesak. Semua sudah dapat piala dan kau bertanya-tanya. Pengumuman berakhir, lalu kami seketika tak ingin mengatakan apa-apa.
Aku melihat banyak darimu yang dikecewakan oleh dunia, meski sekeras apapun teriakmu membuktikan bahwa kamu sudah berusaha. Melihatmu seperti merasakan terus jatuh di lubang yang salah, dan dari sanalah air-air mata itu kemudian mengalir. Meski aku selalu beranggapan, bahwa gagal adalah jalan semua orang, tapi darimu kita banyak belajar bagaimana seharusnya menanggapi kegagalan. Barangkali suatu saat kamu lupa, bahwa hari itu di mana kamu gagal mendapat piala, kamu masih pulang dengan senyum yang tersisa, ikut merayakan kami semua, menanggapi candaan kami, menyelamati hasil makan kemenangan kami, dan sempatnya mengingat seluruh kegiatan menarik yang kita lewati dengan senang meski air sudah terbendung di ujung matamu. Untuk hari itu, aku ucapkan banyak terima kasih yang penuh sungguh-sungguh, karena kamu lah pemenangnya. Tak lupa untuk hari-hari panjang setelahnya, kuucapkan kamu keren sekali. Ternyata, kau sangat lihai dalam hal menerima, karena aku sendiri sangat pengecut.
Hanya satu orang bapak-bapak bersepeda yang dari tadi lewat di sana, entah sudah berapa lama aku duduk dan melarikan diri. Siang mulai gerimis, aku pun tak tahu apa yang sedang aku lakukan di pojokan bangunan saat orang-orang menunggu pengumuman semifinal, aku hanya takut.
Kamu melihatku, sedang duduk berdiam diri jauh dari kerumunan dan pengumuman, semua orang mencariku—termasuk rekan satu timku sendiri. Kau meneriaki apa yang sedang aku lakukan, aku lolos. Tapi saat itu semua tak sempat marah. Perasaanku lah yang marah, sepecundang itu aku. Meski hari itu aku tak menang, tapi kamu membuatku menyadari hidup adalah sekumpulan kenyataan yang harus dihadapi—mau tidak mau. Cerita panjang ini yang mengantarkan kita pada dekat, sampai sejauh ini, lalu kau berterus terang soal Ibuk Bapak dan keluarga. Dan saat itu aku sungguh yakin, kau memang paling pemberani, untuk seluruh kenyataan hidup yang telah dan akan kau hadapi, untukmu, kuucapkan kau kuat sekali, aku ucapkan banyak terima kasih yang penuh sungguh-sungguh. Aku tahu kau mungkin enggan menerima perihal ini masih disebut-sebut, karena kau merasa ini tak seberapa, tapi aku merasa perlu, untuk berterima kasih, untuk memberimu sedikit ingatan bahwa semua tentangmu itu luar biasa.
Dan, di sinilah hidup kita tiba sekarang, masih banyak kecewanya, termasuk saat kamu tidak berhasil masuk di perguruan tinggi sesuai keinginanmu, sampai akhirnya kau selesaikan yang sekarang dengan banyak pujian. Masih banyak air matanya. Masih banyak kenyataan pahitnya. Karena jalan tak pernah lurus-lurus saja. Tapi apalah arti masa lalu yang berat, ketika yang bisa kita lakukan hanyalah mengusahakan yang sebaik-baiknya. Begitu pun, untuk seluruh jalan yang menantimu, untuk seluruh doa yang sedang menunggu waktu, untuk seluruh hasil dari payah dan usaha. Kita bersama, kita di sela-selanya, sedang sama-sama mengusahakan, sedang saling menemani, sedang menjadi ada meski di tempat yang berbeda. Selamat ya, selamat, selamat atas gelarnya, selamat atas usaha kerasnya, selamat atas seluruh hidup yang tidak pernah kamu putuskan menyerah di dalamnya.
(Surabaya, 11 Oktober 2025)
Aulia Della Cornellia S. Tr. T.


Komentar
Posting Komentar